Dekomposisi-Rekomposisi
Tentang Erik Satie dan Musik “ SPRIRAL”
Oleh “ SLAMERIK A.-SJUSATIEKUR
Bagaimanapun, kita harus berusaha menciptakan suatu jenis musik yang mirip semacam’mebelisasi’-artinya: musik ini merupakan sebagian dari bunyi-bunyi lingkaran; atau setidaknya bunyi-bunyi itu diperhatikan.[1]
Barangkali tak seorangpun komponis barat yang menjadi sasaran penghinaan dan kesalahpahaman sesering komponis Perancis Erik Satie (1866-1925). Terutama bagi perkembangan kesenian di Eropa, Satie seolah-olah merupakan komponis pertama yang sesungguhnya bisa disebut “ komponis avantgrade radikal”, sebab konsepnya memang cenderung menyerang segala nilai estetis yang berlaku, bahkan yang baru berkembang (Debussy misalnya sangat dipengaruhi oleh sikap dan filsafat Satie).
Tidak mengherankan bahwa justru john Cage menyebutnya sebagai pengaruh yang paling penting buat dia, khususnya ditinjau dari konsep “purposelessness” dalam bidang seni. Istilah ini sama sekali tidak boleh dianggap negative, melainkan mengarah kepada salah satu “keutuhan” dan “kemurnian” segala sosok auditif yang ditawarkan di dalam suatu karya.²[2]
Memahami kutipan diatas, kelihatan bahwa Satie ingin membuat suatu jenis musik, di dalam setiap sosok auditif ( nada, motif, “Gestalt”, frase) hanya berlaku untuk diri sendiri. Bisa dirimuskan, musiknya merupakan susunan sosok-sosok bunyi netral yang “obyektif”. Dengan demikian bunyi-bunyi lain dari lingkaran (entah di mana karyanya dipentaskan) dapat dianggap seperti bagian integral setiap karyanya. Hanya persepsi seorang apresiator menjadi hal yang penting. Ekspresi atau misi penciptanya tidak perlu dicairkan, sebab misi seperti biasanya tidak ada secara sengaja.
Namun, perlu dijelaskan di sini bahwa juga sikap serupa tidak lepas dari salah satu misi atau program pencipta. Misi seperti pertama kali ditawarkan oleh Satie dan kemudian disempurnakan atau dikembangkan oleh John Cage adalah tuntutan pada satu sikap baru. Dalamkosep ini, “karya” musik bukan lagi pembawapesan penting, melainkan merupakan pelepas proses kesadaran baru buat setiap apresiator.
Sebagai jawaban pada pertanyaan, apakah membanting suatu pintu merupakan musik, Cage mengatakan: apabila tindakan ini dirayakan sebagai tindakan khusus (baca:dilepaskan dari fungsinya) kejadian ini bisa disebut musik.
Sejauh mana sikap demikian pada mulanya bagi Satie sendiri merupakan hasil keadaan budaya pada akhir abad ke-19 di Paris tidak bisa dipermasalahkan di sini. Namun dramatisasi musik gaya Richard Wagner (dengan,yang disebut Debussy, “pemaksaan” teknik “Leitmotiv”),ekspresionisme aliran Wina ke-2, serta “romantisisme konservatif” (Stauss, Sibelius) buat Erik Satie merupakan semacam “pembohongan tersembunyi” atau kemunafikan.³[3] Dia ingin kembali kepada jenis atau estetika musik yang lebih murni dan utuh.
Tujuan demikian (antara lain) mengarah kepada penggunaan atau proses rekayasa model-model kuno (Yunani, nyanyian Gregorian), tetapi bukan juga dengan unsure nostalgia, melainkan sebagai bahan yang “terpencil” dan “unpersonal” (tanpa memperlihatkan cirri pribadi) oleh karena jarak waktu.
Satie tidak menggunakan materi tersebut secara langsung, melainkan konsepnya bisa dijelaskan dengan salah satu teknik yang mirip pelukis-pelukis aliran kubisme:
Para pelukis kubisme berkeinginan agar sarana-sarana nyata dapat diatur kembali dengan peraturan baru yang utuh. Namun untuk menyusun kembali sesuatu, materi tersebut harus dipecahkan dulu (desintegrasi).[4]
Teknik pemecahan serta penyusunan kembali menimbulkan persepsi yang lain terhadap suatu materi yang seolah-olah sudah diketahui. Dalam bentuk baru ini, masing-masing bagian cendrung lebih mewakili diri saja, dari pada menjadi mata rantai demi sesuatu yang lebih umum. Maka sering mmuncul kesan fragmentaris ketika mengamati karya-karya Erik Satie.
Dilihat dari sisi lain, fragmentarisasi juga berhubungan dengan sikap dan gaya hidup Satie. Jean Cocteau pernah merumuskan: musikhakekat ketrpencilan mental. Di sini terjadi pertemuan antara materi nyata dan trasendennya yang hanya dapat digabung atau disatukan oleh setiap apresiator sendiri, sebab dia juga dibiarkan “terpencil” bersama sosok-sosok bunyi yang disajikanoleh Satie dalam salah satu komposisisny.
Apabila Slamet A. Sjukur dikatakan “anak buah” Satie di Indonesia pada masa sekarang, maka kesan demikian bkan sekedar lucu, melainkan kebanyakan benar. Kenyataan demikian paling nyata dalam karya “Spiral”, ini bukan karena karya “Spiral” ini berdasarkan suatu karya Erik Satie, melainkan karena sikap, tujuan serta teknik Slamet A. Sjukur memiliki banyak hubungan denga Satie tanpa merupakan imitasinya.
Slamet juga tidak inginmenampilkan semacam nostalgianya terhadap Satie, akan tetapi ia ingin merekayasa musik Satie atau mentransformasinya kedalan suatu konteks yang punya makna baru, sesuai dengan konseptualisasi Slamet A. Sjukur. Sejauh mana konsep ini merupakan tanda kehormatan terhadap Satie sebagai pelopor suatu konsep seni, tidak bisa didiskusikan di sini.
Ternyata alas an masing-masing komponis ini tidak terlalu berbeda. Apabila Satie mengambil sikap demikian karena “kebohongan” sekaligus ketersaingan “ekspresi seni” pada zamannya Slamet A. Sjukur juga seolah-olah bereaksi terhadap kedangkalan persepsi dan “khayalan mutu” dalam era infornasi dengan kecepatan informasi yang sudah di luar kemampuan persepsi manusia, walaupun manusia tidak suka mengakuinya.[5]
Dalam seluruh hiruk-pikuk bunyi sehari-hari, Slamet ingin member sebuah alternative terhadap musim “Olimpiade persepsi musik”, dalam arti:jumlah nada per detik tidak otomatis mempunyai arti kualitatif, melainkan kita harus mempelajari kembali mengapresiasikan makna dan kekayaan segala sesuatu secara rinci lagi. Praktek dan apresiasi musik tidak boleh dikaitkan dengan unsure kompetitif, mengimhat pernyataan dari komponis Amerika La Monte Young:
The trouble with most of the musik lof the past is that man has tried to make the sounds what he wants them to do. If we are really interested in learning abaout sounds, it seems to me that we should allow the sounds to be sounds instead of trying to force them to do things that are mainly pertinent to human experience. If we try to enslave some of sounds and force them to obey our will, they become useless. We can learn nothing or little from them because they will simply reflect our own ideas.[6]
Bila kecenderungan demikian sudah terlihat pada karya-karya Slamet A. Sjukur sebelumnya (“Kangen”, “Svara”), “Spiral” barangkali paling tepat untuk mengalami yang dimaksud oleh komponisnya. Kembali kepada kutipan pada awal tulisan ini, Slamet justru ingin mewujudkan yang barangkali hanya dibayangkan oleh Erik Satie (dan kemudian dikembangkan oleh Cage), yaitu keterikantan bunyi-bunyi musik dengan bunyi-bunyi lingkungan, sehingga seorang apresiator harus masuk ke dalam karya ini. Maka salah satu kekayaan “Spiral” adalah perbedaannya pada setiap pergelaran, sebab lingkungannya juga berbeda.
Istilah “Spiral” punya dua arti, Pertama, istilah ini menuju kepada semacam lingkaran terus-menerus, sebab musik ini tidak di garap dengan unsure dinamisasi (baca: mengarah kepada salah satu tujuan tertentu), melainkan setelah selesai sebenarnya bisa dilanjutkan dari awal lagi, dengan perbedaan keadaan lingkungan yang sekaligus mengubah persepsi dalam pengertian yang disebut tadi.
Arti kedua adalah hubungan antara masing-masing bagian. Karya ini di mulai dengan “Gymnopĕdie I” oleh Satie, dilanjutkan dengan “Premonition Gymnopĕdie III”. Kemudian Slamet kembali kepada “Gymnopĕdie II” yang dilanjutkan dengan komentarnya “ Rememberence Gymnopĕdie I” dan diselesaikan dengan “Gymnopĕdie III” asli.
Apabila konsep Satie ( dalam proses rekayasanya) lebih menuju kepada gaya kuno (khayalan akan tari pendeta wanita di Yunani), Slamet A. Sjukur lebih cenderung memecahkan karya Erik Satie dengan teknik “partikularisasi” atau, secara umum, yang disebut dekomposisi.
Slamet seolah-olah mengangkat setiap nada atau setiap frase kecil menjadi sesuatu yang baru, dalam arti: Suatu nada menjadi salah satu motif yang bisa diubah dan dikembangkan di dalamnya sendiri. Sebuah frase bisa diperjuangkan atau dikutip secara terpotong, bahkan dengan urutan nada-nada baru, akan tetapi selalu sesuai dengan suasana “punctual” (kesaatan).
Pada contoh berikut ini, yaitu bagian “Premonition Gymnopĕdie III”, Slamet berfokus pada nada utama “ G ymnopĕdie III” ini, yaitu nada A, serta berbagai nada dari melodinya, akan tetapi secara punctual, sehingga hanya nada-nada sendiri dapat berperan dari pada melosi dari Satie:
Slamet tidak hanya mentransfer melodi asli, melainkan juga “melodi sekunder” (nada diatas iringan harmoni menjadi bahan yang “ditarik ke luar” (baca: ditransformasikan),yaitu a-g-a-g-a.
Contoh Notasi analitis 1
Apabila “Gymnopĕdie III” belum diketahui oleh pendengar pada saat sajiannya, bagian “remeberance”, yaitu transformasi “Gymnopĕdie I” pasti berbeda, sebab karya asli sudah diketahui. Maka proses pemecahan serta penyusunan kembali juga sedikit berbeda. Hasil proses tersebut lebih kompleks dan lebih “Jauh” dari sumbernya.
Pada versi ini, proses perubahan warna (artikulasi, bunyi overtone dan perkusi) dan teknik permutasi masing-masing nada asli lebih menonjol: Teknik yang digunakan oleh Mas Slamet (pada analisis kami hanya terlihat sedikit dari keseluruhan karya ini), yaitu proses pemecahan serta penyusunan baru demi identitas materi yang baru pula, memang amat mengkaitkan Mas Slamet dengan Erik Satie.
Jika tadi dikemukankan bahwa Satie lebih bekerja dengan materi kuno secara umum, dibandingkan dengan karya Slamet A. Sjukur (yang berdasarkan karya tertentu), maka Satie juga sendiri pernah membuat berbagai karya gaya “dekomposisi-rekomposisi” seperti misalnya dalam “Sonate Bureaucratique” yang berdasarkan Sonata C-Mayor oleh M. Clementi.
Namun cara Slamet A.Sjukur merupakan tahap atau perkembangan baru, sebab ia memotong dan merekayasa bukan berbagai frase saja, melainkan setiap nada ditampilkan dengan identitasnya sendiri. Seorang apresiator seolah-olah bisa “masuk” ke dalam organism masing-masing nasa demi suatu pengalaman yang barangkali sangat perlu lagi pada zaman modern ini dengan kecenderungan persepsi segalanya yang hanya melihat dan memperhatikan permukaan, bahkan lebih buruk lagi: hanya permukaan ini dianggap intinya, sedangkan kekayaan yang sebenarnya tidak diperhatikan lagi.
Bibliografi:
Mark, Dieter: Sejarah Musik, jilid III-IV, PML, Yogyakarta, 1995.
Mark, Dieter: Musik Kontemporer, ArtLine, Jakarta, 2001
Melles, Wilfried: Erik Satie und das Problem der ‘Zeitgenőossischen’ Musik, di dalam: MUSIKKONZEPTE jilid 11,Műnchen 1980.
Pasaribu, Amir: Analisis Musik Inonesia, Jakarta, 1986
[2] Sejauh mana istilah “karya” masih berlaku, mesti dipertimbangkan kembali, sebab pada umumnya istilah ini selalu dapat dikaitkan dengan”purpose”=maksud atau tujuan (misi)
[3] Dalam hal ini Satie tidak menuduh komponis-komponis yang menggarap dengan cara yang lain seperti dia. Yang dikritik oleh Satie adalah terutama masyarakat yang senantiasa menganut idola-idolanya sebagai suatu nostalgia yang tidak layak atau sesuai dengan keadaan rumitnya zaman.
[4] Melles, Wilfried: Erik Satie und das Problem der ‘Zeitgenőossischen’ Musik, di dalam: MUSIKKONZEPTE jilid 11,Műnchen 1980.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar