Rabu, 02 Februari 2011

Musik Konstruktivisme Milton Babbitt dan Elliot Carter

Musik Konstruktivisme/Rasionalisme-
Milton Babbitt (1916-2011) dan Elliot Carter(1908-)
A.    Musik Kontsruktivisme
Kontruktivisme dan lain-lain otomatis menuju pada tradisi “Aliran Wina ke-II” dan dalam hal ini pada pengaruhnya terhadap budaya musik Amerika. Dilihat dari segi perkembangan tradisi Amerika sendiri, hanya terdapat sedikit sumber (Charles Ives secara kebetulan dan dengan maksud tertentu dapat menggunakan elemen dodekafon)[1], karena kebanyakan komponis Amerika, terutama yang juga bekerja sebagai pendidik, bertolak dari bahasa musik Akhir Romantik di Eropa dengan berbagai nuansa ndividual. Bila pengaruh guru Perancis, yaitu Nadia Boulanger, tidak banyak perannya dalam hal konsep dodekafon, maka kehadiran Schöenberg, Wolpe dan Krenek (setelah migrasinya) di Amerika harus dilihat dengan kacamata lain, sebab dalam fungsinya sebagai guru, konsep-konsep yang bertolak dari struktur dodekafon menjadi semakin populer di Amerika.
Secara historis hanya sedikit komponis Amerika yang dapat mengembangkan berbagai konsep konstruktivisme dengan menggunakan teknik dodekafon. Mereka itu, tidak lain: Wallingford Riegger (1885-1961), Roger Sessions (1896-1985) serta Ross Lee Finncy (1906-) dan sekian persen Aaron Copland.
B.     Milton Babbitt
Milton Babbitt adalah seorang komponis yang secara penuh dapat mengembangkan konsep dodekafon[2], sesuai dengan perkembanan Serialisme di Eropa. Yang menarik, transfer struktur dan keteraturan deretan nada pada parameter yang lain (Serialisme) sudah dipertimbangkan oleh komponis itu sebelum, atau setidaknya sejajar dengan perkembangan Serialisme di Eropa.
Babbitt secara sangat konsekuen dapat mengembangkan konsep tersebut dengan cara yang sangat individual, walaupun dia sering dikritik dengan tegas (“musik sebagai suatu asuransi serial”, dll.). Babbitt percaya bahwa suatu organisasi materi musik yang ketat, bahkan yang bertolak dari berbagai konsep matematis, mempunyai makna keindahan dan ekspresi tersendiri, dan musiknya memang membuktikannya. Dengan demikan Babbitt mengalami suatu kehidupan yang agak terpencil, yaitu seperti seorang ahli dalam suatu bidang yang sangat spesifik, sebab pengetahuan lain (dalam hal ini misalnya pengetahuan tentang matematika) amat diperlukan untuk memahami teknik (bukan ekspresinya) komposisi Babbitt. Mengenai kenyataan ini Babbitt pernah mengkomentari:
“Saya lebih suka kehidupan terisolasi (...) daripada suatu kehidupan di npublik yang pernah dengan komprom-kompromi dan prestasi-prestasi gaya anti profesional”
Lahir pada tahun 1916 di Philadelphia, Babbitt mulai studinya dengan matematika akan tetapi sekaligus dia tampil sebagai musisi jazz (saxophone dan klarinet). Sejak 1935 dia mengambil studi komposisi pribadi apada Roger Sessions di Princeton. Pekerjaannya yang pertamadi Princeton itu (1943-1945) adalah dalam bidang matematika, tetapi sejak tahun 1948 sampai sekarang dia menjadi guru komposisi terkenal di sana (sejak tahun 1959 Babbitt juga memimpinColumbia-Princeton Electronic Music Center).
Teknik dodekafon suda ia pelajari pada tahun 30-an, akan tetapi dengan latar belakang matematika , maka perkembangan oleh Babbitt berbeda sejak awal (dan lebih mirip berbagai konsep dari Boulez pada awal tahun 50-an). Bagi Babit, ide rasionalisme dan konstruktivisme sangat dipengaruhi oleh suatu pengertian tradisi ala Eropa. Walaupun justru di Eropa musiknya hampir tidak diketahui sampai dengan tahun 1964, waktu Babbitt dapat mengajar di kursus di Darmstadt pertama kali.
Konsep struktural Babbitt telah dirumuskan panjang lebar olehnya dalam berbagai buku antara tahun 1956dan 1962, dan menjadi suatu sistem yang sangat populer di Amerika, terutama di lingkungan akademis (baik untuk komposisi maupun untuk analisis). Seperti suatu gabungan antara Schöenberg dan Webern, Babbitt bertolak dari suatu pengertian bahwa deretan 12 nada harus memiliki suatu struktur khusus (berbagai bagian) untuk pengolahannya yang ia namakan “combinatoriality” (“kepenggabungan”). Seperti ditulis oleh Hitchcock, Babbitt mengganggap konsepnya bukan seperti suatu metode saja (ala Schöenberg) melainkan seperti suatu sistem, dimana organisasi segala sesuatu berdasarkan berbagai “set”=”himpunan” (“pitch-set” = “himpunan tingginada”; “duration-set” = “himpunan panjang nada”). Konsep Babbitt juga dapat memecahkan persoalan keteraturan serial vertikal, yaitu struktur akor-akornya (di samping horisontalnya yang diutamakan oleh Schöenberg).
Salah satu komposisi utama dari awal konsep ini adalah “Three Composition for Piano” (1947) yang berdasarkan hanya empat variasi deretan dasar (termasuk retsograde/ mundurnya):
Contoh Deretan dasar untuk “3 Compositions for Piano”
Deretan ini dibagi dua kelompok A dan B. Di situ terlihat bahwa struktur A dan B dibuat agar setiap gabungan dari bagian A dan B dalam bentuk apapun selalu menghasilakan deretan 12 nada lengap. Pada contoh berikut, suara di bawah misalnya dimulai dengan A dan B dari dereta dasar. Lalu, terdapat mundurnya yang ditransposisikan pada nada bb, kemudian bentuk transposisi ke g# dan selanjutnya.
Parameter lain diatur dengan prinsip yang kurang lebih sama (deretan dengan jumlah nada dalam hal ritme, yaitu misalnya pada suara bas itu: 5 1 4 2. Bagi Babbitt, 2 4 1 5 adalah mundurnya, 1 5 4 2 4 inversi/balikannya dan 4 2 5 1 inversi mundurnya).
Contoh: M. Babbitt, “Three Composition for Piano”, awal
Dengan konsep ini, tidakmengherankan jika Babbitt juga dapat menghasilkan banyak karyanya dengan medium elektronis di Princeton.
Karya-karya lain yang harus disebut: “Composition for 4 Instruments” (1948), “Composistion for 12 Instruments” (1948), “All-Set” (1957) untuk grup jazz, “DU”(1951) untuk vokal dan piano, “Composition for Tenor and Six Instruments”(1960 da yang menarik adalah bahwa dalam karya dengan vokal, durasi tidak siatur serial sebab menurut Babbittt, di situ ritme kata sendiri yang menjadi tolak ukur!.
C.    Elliot Carter
Rekan yang sama fahamnya dengan Babbitt adalah Elliot Carter (1908-) dengan musiknya yang barangkali lebih rumit lagi (dalam hal ritme), sebab Carter bertolak dari berbagai aspek struktural, akan tetapi penggunaannya lebih bebas.
“Any technical or aesthetic consideration of music must start with the matter of time. The basic problem has always been that analysts of music tend to trat is elements as static rather than as what they are – that is, transitive staps from one information in time to another. All the materials of music have to be considered in relation to their projection in time, and by time, of course I mean not visually measured ‘clock-time’ but the medium throug which (or way in which) we percieve, understand, and experience events. Music deals with thi experiental kind of time, and its vocabulary must be organized by a musical syntax thatbtakes direct account of, and thus can play on, in the listener;s sense....”[3]
“elliot Carter makes music out of simultaneous oppositions. A piano accelerates to a flickering tremolo, as aharpsichord slows down to silence. Second violin and viola, hal of a quartet, sound cold, mechanical pulses, while first violin and cello, the remaining duo, play with intense expressive passion.... The music is often Apollonian and Dionysian at the same time. This is not because diffrent aspects of the music belong to one of these categories or the other... but because every aspect if the composition articulates opposite values. The music is often at once highly structured and improvisatory, framented, yet unbroken.[4]
Dua kutipan di atas sudah menggambarkan hal-hal utama dlama karya Carter, yaitu suatu kerumitan (kompleksitas) watak (atau “kepribadian materinya”) yang bebunyi sekaligus serta peranan faktor waktu, yang seolah-olah berkaitan erat dengan “polifoni ala Carter”. Namun dilihat dari sisi lain, musik Carter selalu terasa sangat bebas dan rapsodis, sehingga sekali lagi kita dapat menemukan seorang komponis dimana kerumitan strukturalnya tidak menjadi suatu kerangka yang abstrak dan formalistik saja, melainkan justru dapat mendukung ekspresi yang diinginkan. Keradikalan dalam gabungan struktur yang rumit dengan ekspresi transenden (bagi Cartetr) tidak bisa dilihat terlepas dari dua hal, yaitu senantiasa oposisinya Carter terhadap keteraturan tradisional orang tuanya (mereka dalam perdagangan) serta persahabatan erat dengan Charles Ives.
Carter lahir di New York dan oleh karena bisnis orang tuanya, dia dididik sejak awal untuk kebutuhan bisnis itu (yang sudah dipegang keluarganya selama tiga generasi). Musikalitasnya sudah terlihat semenjak kecil, akan tetapi harap dipandang sebagai hobi, sesuai dengan peranan seni bagi suatu keluarga “middle-class” di Amerika. Bagi Carter sendiri, situasinya terasa berbeda sekali sebab dedikasinya pada musik sudah amat menonjol, bahkan Carter sejak kecil hanya berniat untuk memperdalam musik kontemporer yang sama sekali tidak disukai kedua orang tuanya. Namun dengan dukungan gurunya Clifton Furness, minat Carter dapat terpenuhi. Carter mulai studi di Harvard (Inggris, filsafat dan metematika), akan tetapi minat utamanya tetap pada musik. Atas rekomendasi Walter Piston, Carter bisa studi di Paris bersama Nadia Boulanger pada tahun 1932, sekaligus bantuan keuangan dari orang tuanya di hentikan. Setelah kembali ke Amerika pada tahun 1935, Carter memulai kariernya sebagai komponis dan guru, walaupun bukan dalam bidang musik saja. Sejak pertengahan tahun 50-an Carter tinggal di Waccabuc (utara New York) dimana kebanyakan karya baru diciptakan. Baru pada tahun 80-1n carter juga semakin terkenal di Eropa.
Berbicara tentang musik carter secara singkat memang tidak mudah, sebab banyak faktor yang mesti dipertimbangkan dari segi teknik komposisi. Namun dengan dua contoh ingin penulis jelaskan berbagai prinsip dasar.
Karyanya yang lazimnya dianggap suatu langkah di dunia musik adalah “Piano Sonata” dari tahun 1945/46, yaitu semacam kesimpulan dari segala konsep Carter yang dikembangkan sebelumnya.
Movement pertama berdasarkan empat unsur utama yaitu suatu:
a.       Sel intervalis b-a#
b.      Resonansi overtone
c.       Deretan dengan interval ters (vertikal) serta,
d.      Susunan kuart-kuint
Empat unsur itu untuk sementara sama sekali tidak terasa penting dan sebagai unsur motivis secara tertentu, bahkan Carter menggunakannya sangat bebas serta bercampur, sehingga pada saat ini, aspek kerumitannya sudah sangat terasa. Carter sering berbicara tentang “individualitas” masing-masing elemen yang sedang melakukan perselisihan abstrak, dimana bukan identitasnya harus dirasakan, melainkan organisme perselisihan itu sendiri. Teknik dengan berbagai kelompok intervalis sering dinamakan “pitch-classes” (lihat juga konsep “pitch-set” dari Milton Babbitt), yaitu setiap seleksi intervalis dianggap sebagai suatu kelas tersendiri dengan berbagai derajat perannya.
Contoh: E. Carter, “Piano Sonata”, awal.
Secara psikoaskutik, awal ini mirip suatu pengolahan resonansi overtone nada dasar B, namun kesan resonansi ini digarap secara khusus oleh Carter dengan elemen-elemen dasar lain. Angka-angka kecil menentukan nada resonansi utama, sedangkan angka Romawi menunjuk pada empat elemen dasar yang disebut di atas (elemen keempat adalah resonansi “overtone” sendiri). Perihal “pitch-class” lebih jelas pada awal karya “1st String Quartet” (1951) yang juga dianggap sebagai suatu langkah dalam Carter:
Contoh: E. Carter, “1st String Quartet”, mov 1 “Fantasia”, awal
Karya ini dimulai dengan suatu kadens bebas dari Cello, namun “pitch-class” utama menjadi elemen dasarnya. Dalam hal ini,”pitch-class” tersebut terdiri dari empat nada , yaitu misalnya c-c#-e-f#. Menurut Carter, urutan ini merupakan suatu urutan dengan semua interval yang mungkin (Perhatian: carter biasanya mengabaikan kenyataan interval komplementer, sehingga “semua” interval dalam konsepnya bisa terangkum di dalam kerangka interval tritonus). Di dalam keempat nada ini terdapa sekon kecil, sekon besar, ters kecil, ters besar (c-e), kuart murni (c#-f#) dan tritonus sendiri. Nada-nada ini dianggap sebagai suatu kelompok, dimana urutannya serta perihal horisontal atau vertikalnya bisa bermacam-macam, asal strukturnya selalu sama. Denagn demikian “pitch-class” dasar itu muncul lima kali dalam contoh di atas. Hal yang lebih penting untuk perkembangan konsep Carter adalah “metric modulation” suatu teknik untuk mengolah kerumitan ritme/metrik dalam musiknya.
Contoh: E. Cater, “1st String Quartet”, mov 1, birama 198 berikut
Pada awal birama 198, cello dan biola alto menyebabkan rasa ketukan dengan nilai = 84. Terkstur biola 2 dirasakan polimetris dengan relasi 3:2, tetapi pada birama 200 justru menjadi pola utama dengan tempo = 63 (atau = 126) sehingga cello dan biola alto terasa sebagai suara tambahan polimetris. Pada birama 201, biola 1 muncul dengan triol, yaitu sekali lagi relasi 3:2 terhadap biola 2. Karena peran biola 1, akhirnya justru pembagian (level) triol dianggap sebagai kekuatan dasar tempo yang lebih cepat yaitu =189.
Ini masih suatu contoh yang cukup sederhana, akan tetapi dalam karya berikutnya, terutama untuk orkes hal ini menjadi amat rumit, tetapi perasaan polometrik itu selalu sangat jelas, artinya kerumitan itu memang terasa dalam musik Carter. Karya lain yang harus disebut: “Three poems by R.Frost” (1942), “Sonata for Violoncello and Piano” (1948), “String Quartet 1-4” (1951, 1959, 1971, 1982) dan “A Symphony for Three Orchestras” (1976)


[1] Charles Ives adalah komponis Amerika yang cukup tersohor. Lahir di Danbury, Connecticut (20 Oktober 1874 –  19 Mei 1954
[2] Dodekafon adalah sebuah sistem komposisi musik yang emlibatkan ke-dua belas nada diatonis yang diurutkan. Sistem ini muncul pada era Ekspresionisme tahun 50-an.
[3] Elliot carter, dikutip dari David Schiff, “The usic of E. Carter”, New York, 1983, halaman 2.
[4] David Schiff tentang Elliot Carter di dlam bukunya “The Music..”, halaman 13

Dekomposisi Erik Satie

Dekomposisi-Rekomposisi
Tentang Erik Satie dan Musik “ SPRIRAL”
Oleh “ SLAMERIK A.-SJUSATIEKUR

Bagaimanapun, kita harus berusaha  menciptakan suatu jenis musik yang mirip semacam’mebelisasi’-artinya: musik ini merupakan sebagian dari bunyi-bunyi lingkaran; atau setidaknya bunyi-bunyi itu diperhatikan.[1]
Barangkali tak seorangpun komponis barat yang menjadi sasaran penghinaan dan kesalahpahaman sesering komponis Perancis Erik Satie (1866-1925). Terutama bagi perkembangan kesenian di Eropa, Satie seolah-olah merupakan komponis pertama yang sesungguhnya bisa disebut “ komponis avantgrade radikal”, sebab konsepnya memang  cenderung menyerang segala nilai estetis yang berlaku, bahkan yang baru berkembang (Debussy misalnya sangat dipengaruhi oleh sikap dan filsafat Satie).
Tidak mengherankan bahwa justru john Cage menyebutnya sebagai pengaruh yang paling penting buat dia, khususnya ditinjau dari konsep “purposelessness” dalam bidang seni. Istilah ini sama sekali tidak boleh dianggap negative, melainkan mengarah kepada salah satu “keutuhan” dan “kemurnian” segala sosok auditif yang ditawarkan di dalam suatu karya.²[2]
            Memahami kutipan diatas, kelihatan bahwa Satie ingin membuat suatu jenis musik, di dalam setiap sosok auditif ( nada, motif, “Gestalt”, frase) hanya berlaku untuk diri sendiri. Bisa dirimuskan, musiknya merupakan susunan sosok-sosok bunyi netral yang “obyektif”. Dengan demikian bunyi-bunyi lain dari lingkaran (entah di mana karyanya dipentaskan) dapat dianggap seperti bagian integral setiap karyanya. Hanya persepsi seorang apresiator menjadi hal yang penting. Ekspresi atau misi penciptanya tidak perlu dicairkan, sebab misi seperti biasanya tidak ada secara sengaja.
            Namun, perlu dijelaskan di sini bahwa juga sikap serupa tidak lepas dari salah satu misi atau program pencipta. Misi seperti pertama kali ditawarkan oleh Satie dan kemudian disempurnakan atau dikembangkan oleh John Cage adalah tuntutan pada satu sikap baru. Dalamkosep ini, “karya” musik bukan lagi pembawapesan penting, melainkan merupakan pelepas proses kesadaran baru buat setiap apresiator.
            Sebagai jawaban pada pertanyaan, apakah membanting suatu pintu merupakan musik, Cage mengatakan: apabila tindakan ini dirayakan sebagai tindakan khusus (baca:dilepaskan dari fungsinya) kejadian ini bisa disebut musik.
Sejauh mana sikap demikian pada mulanya bagi Satie sendiri merupakan hasil keadaan budaya pada akhir abad ke-19 di Paris tidak bisa dipermasalahkan di sini. Namun dramatisasi musik gaya Richard Wagner (dengan,yang disebut Debussy, “pemaksaan” teknik “Leitmotiv”),ekspresionisme aliran Wina ke-2, serta “romantisisme konservatif” (Stauss, Sibelius) buat Erik Satie merupakan semacam “pembohongan tersembunyi” atau kemunafikan.³[3] Dia ingin kembali kepada jenis atau estetika musik yang lebih murni dan utuh.
            Tujuan demikian (antara lain) mengarah kepada penggunaan atau proses rekayasa model-model kuno (Yunani, nyanyian Gregorian), tetapi bukan juga dengan unsure nostalgia, melainkan sebagai bahan yang “terpencil” dan “unpersonal” (tanpa memperlihatkan cirri pribadi) oleh karena jarak waktu.
            Satie tidak menggunakan materi tersebut secara langsung, melainkan konsepnya bisa dijelaskan dengan salah satu teknik yang mirip pelukis-pelukis aliran kubisme:
            Para pelukis kubisme berkeinginan agar sarana-sarana nyata dapat diatur kembali dengan peraturan baru yang utuh. Namun untuk menyusun kembali sesuatu, materi tersebut harus dipecahkan  dulu (desintegrasi).[4]
            Teknik pemecahan serta penyusunan kembali menimbulkan persepsi yang lain terhadap suatu materi yang seolah-olah sudah diketahui. Dalam bentuk baru ini, masing-masing bagian cendrung lebih mewakili diri saja, dari pada menjadi mata rantai demi sesuatu yang lebih umum. Maka sering mmuncul kesan fragmentaris ketika mengamati karya-karya Erik Satie.
            Dilihat dari sisi lain, fragmentarisasi juga berhubungan dengan sikap dan gaya hidup Satie. Jean Cocteau pernah merumuskan: musikhakekat ketrpencilan mental. Di sini terjadi pertemuan antara materi nyata dan trasendennya yang hanya dapat digabung atau disatukan oleh setiap apresiator sendiri, sebab dia juga dibiarkan “terpencil” bersama sosok-sosok bunyi yang disajikanoleh Satie dalam salah satu komposisisny.
            Apabila Slamet A. Sjukur dikatakan “anak buah” Satie di Indonesia pada masa sekarang, maka kesan demikian bkan sekedar lucu, melainkan kebanyakan benar. Kenyataan demikian paling nyata dalam karya “Spiral”, ini bukan karena karya “Spiral” ini berdasarkan suatu karya Erik Satie, melainkan karena sikap, tujuan serta teknik Slamet A. Sjukur memiliki banyak hubungan denga Satie tanpa merupakan imitasinya.
            Slamet juga tidak inginmenampilkan semacam nostalgianya terhadap Satie, akan tetapi ia ingin merekayasa musik Satie atau mentransformasinya kedalan suatu konteks yang punya  makna baru, sesuai dengan konseptualisasi Slamet A. Sjukur. Sejauh mana konsep ini merupakan tanda kehormatan terhadap Satie sebagai pelopor suatu konsep seni, tidak bisa didiskusikan di sini.
            Ternyata alas an masing-masing komponis ini tidak terlalu berbeda. Apabila Satie mengambil sikap demikian karena “kebohongan” sekaligus ketersaingan “ekspresi seni” pada zamannya Slamet A. Sjukur juga seolah-olah bereaksi terhadap kedangkalan persepsi dan “khayalan mutu” dalam era infornasi dengan kecepatan informasi yang sudah  di luar kemampuan persepsi manusia, walaupun manusia tidak suka mengakuinya.[5]
            Dalam seluruh hiruk-pikuk bunyi sehari-hari, Slamet ingin member sebuah alternative terhadap musim “Olimpiade persepsi musik”, dalam arti:jumlah nada per detik tidak otomatis mempunyai arti kualitatif, melainkan kita harus mempelajari kembali mengapresiasikan makna dan kekayaan segala sesuatu secara rinci lagi. Praktek dan apresiasi musik tidak boleh dikaitkan dengan unsure kompetitif, mengimhat pernyataan dari komponis Amerika La Monte Young:
            The trouble with most of the musik lof the past is that man has tried to make the sounds what he wants them to do. If we are really interested in learning abaout sounds, it seems to me that we should allow the sounds to be sounds instead of trying to force them to do things that are mainly pertinent to human experience. If we try to enslave some of sounds and force them  to obey our will, they become useless. We can learn nothing or little from them because they will simply reflect our own ideas.[6]
            Bila kecenderungan demikian sudah terlihat pada karya-karya Slamet A. Sjukur sebelumnya (“Kangen”, “Svara”), “Spiral” barangkali paling tepat untuk mengalami yang dimaksud oleh komponisnya. Kembali kepada kutipan pada awal tulisan ini, Slamet justru ingin mewujudkan yang barangkali hanya dibayangkan oleh Erik Satie (dan kemudian dikembangkan oleh Cage), yaitu keterikantan bunyi-bunyi musik dengan bunyi-bunyi lingkungan, sehingga seorang apresiator harus masuk ke dalam karya ini. Maka salah satu kekayaan “Spiral” adalah perbedaannya pada setiap pergelaran, sebab lingkungannya juga berbeda.
           
Istilah “Spiral” punya dua arti, Pertama, istilah ini menuju kepada semacam lingkaran terus-menerus, sebab musik ini tidak di garap dengan  unsure dinamisasi (baca: mengarah kepada salah satu tujuan tertentu), melainkan setelah selesai sebenarnya bisa dilanjutkan dari awal lagi, dengan perbedaan keadaan lingkungan yang sekaligus mengubah persepsi dalam pengertian yang disebut tadi.
Arti kedua adalah hubungan antara masing-masing bagian. Karya ini di mulai dengan “Gymnopĕdie I” oleh Satie, dilanjutkan dengan “Premonition Gymnopĕdie III”. Kemudian  Slamet kembali kepada “Gymnopĕdie II” yang dilanjutkan dengan komentarnya “ Rememberence Gymnopĕdie I” dan diselesaikan dengan “Gymnopĕdie III” asli.
Apabila konsep Satie ( dalam proses rekayasanya) lebih menuju kepada gaya kuno (khayalan akan tari pendeta wanita di Yunani), Slamet A. Sjukur lebih cenderung memecahkan karya Erik Satie dengan teknik “partikularisasi” atau, secara umum, yang disebut dekomposisi.
Slamet seolah-olah mengangkat setiap nada atau setiap frase kecil menjadi sesuatu yang baru, dalam arti: Suatu nada menjadi salah satu motif yang bisa diubah dan dikembangkan di dalamnya sendiri. Sebuah frase bisa diperjuangkan atau dikutip secara terpotong, bahkan dengan urutan nada-nada baru, akan tetapi selalu sesuai dengan suasana “punctual” (kesaatan).
Pada contoh berikut ini, yaitu bagian “Premonition Gymnopĕdie III”, Slamet berfokus pada nada utama “ G ymnopĕdie III” ini, yaitu nada A, serta berbagai nada dari melodinya, akan tetapi secara punctual, sehingga hanya nada-nada sendiri dapat berperan dari pada melosi dari Satie:
Slamet tidak hanya mentransfer melodi asli, melainkan juga “melodi sekunder” (nada diatas iringan harmoni menjadi bahan yang “ditarik ke luar” (baca: ditransformasikan),yaitu a-g-a-g-a.
Contoh Notasi analitis 1


Apabila “Gymnopĕdie III” belum diketahui oleh pendengar pada saat sajiannya, bagian “remeberance”, yaitu transformasi “Gymnopĕdie I” pasti berbeda, sebab karya asli sudah diketahui. Maka proses pemecahan serta penyusunan kembali juga sedikit berbeda. Hasil proses tersebut lebih kompleks dan lebih “Jauh” dari sumbernya.
Pada versi ini, proses perubahan warna (artikulasi, bunyi overtone dan perkusi) dan teknik permutasi masing-masing nada asli lebih menonjol: Teknik yang digunakan oleh Mas Slamet (pada analisis kami hanya terlihat sedikit dari keseluruhan karya ini), yaitu proses pemecahan serta penyusunan baru demi identitas materi yang baru pula, memang amat mengkaitkan Mas Slamet dengan Erik Satie.
Contoh Notasi Analitis 2

Jika tadi dikemukankan bahwa Satie lebih bekerja dengan materi kuno secara umum, dibandingkan dengan karya Slamet A. Sjukur (yang berdasarkan karya tertentu), maka Satie juga sendiri pernah membuat berbagai karya gaya “dekomposisi-rekomposisi” seperti misalnya dalam “Sonate Bureaucratique” yang berdasarkan Sonata C-Mayor oleh M. Clementi.
Namun cara Slamet A.Sjukur merupakan tahap atau perkembangan baru, sebab ia memotong dan merekayasa bukan berbagai frase saja, melainkan setiap nada ditampilkan dengan identitasnya sendiri. Seorang apresiator seolah-olah bisa “masuk” ke dalam organism masing-masing nasa demi suatu pengalaman yang barangkali sangat perlu lagi pada zaman modern ini dengan kecenderungan persepsi segalanya yang hanya melihat dan memperhatikan permukaan, bahkan  lebih buruk lagi: hanya permukaan ini dianggap intinya, sedangkan kekayaan yang sebenarnya tidak diperhatikan lagi.





Bibliografi:
Mark, Dieter: Sejarah Musik, jilid III-IV, PML, Yogyakarta, 1995.
Mark, Dieter: Musik Kontemporer, ArtLine, Jakarta, 2001
Melles, Wilfried: Erik Satie und das Problem der ‘Zeitgenőossischen’ Musik, di dalam: MUSIKKONZEPTE jilid 11,Műnchen 1980.
Pasaribu, Amir: Analisis Musik Inonesia, Jakarta, 1986





[1] Erim Satie, dikutip dalam esai: Erik Satie, oleh John Cage; News Annual”, 1958.
[2] Sejauh mana istilah “karya” masih berlaku, mesti dipertimbangkan kembali, sebab pada umumnya istilah ini selalu dapat dikaitkan dengan”purpose”=maksud atau tujuan (misi)
[3] Dalam hal ini Satie tidak menuduh komponis-komponis yang menggarap dengan cara yang lain seperti dia. Yang dikritik oleh Satie adalah terutama masyarakat yang senantiasa menganut idola-idolanya sebagai suatu nostalgia yang tidak layak atau sesuai  dengan keadaan rumitnya zaman.
[4] Melles, Wilfried: Erik Satie und das Problem der ‘Zeitgenőossischen’ Musik, di dalam: MUSIKKONZEPTE jilid 11,Műnchen 1980.
[5] Bahkan banyak orang barangkali tidak sadar akan gejala zaman sekarang ini.
[6] LaMonte Young, Lecture Text, tidak dipublikasikan.

Minggu, 30 Januari 2011

Komposisi Musik


Oleh; Christanto Hadijaya, S.Sn.
A.   Komposisi Musik
J. W. Goethe
Komposisi berasal dari kata kerja bahasa Jerman; komponieren (Latin componere, Itali comporre, Inggris to compose) pertamakali dipergunakan oleh pujangga besar Jerman, Johann Wolfgang Goethe (1749-1832) untuk menandai cara-cara menggubah (Komponier-ern) musik pada abad-abad sebelumnya (Abad 15 sampai 17). Komponieren dengan demikian adalah pekerjaan mengatur, menyusun, menata, merangkai (bahasa awam: mengotak-atik) berbagai suara atau nada-nada yang mengacu kepada lagu atau melodi utama yang disebut Cantus. Yang patut dibedakan antara komposisi dengan istlah arranger (arrangement), song writer adalah dari segi pengerjaannya. Komposisi sebagai kata benda dan komponis (composer) sebagai pelakunya, adalah pekerjaan membuat, mencipta dan merangkai karya musik yang meliputi aspek pengerjaan mulai dari ide, lalu penulisan dan pada akhirnya diwujud nyatakan dengan penampilan atau pergelaran karya itu sendiri. Komponis menuangkan ide dalam bentuk notasi-notasi tertulis, memikirkan warna bunyinya, mengkonstruksi psikologis pemain meliputi teknik instrumen yaitu kelebihan dan keterbatasan tiap-tiap instrumen yang berbeda, hingga karya itu menjadi sesuatu yang valid untuk dapat dipresentasikan ke hadapan publik.
Komponis bukanlah song writer atau arranger dan begitu pula sebaliknya. Karena song writer hanyalah ‘Penulis Lagu’ yang hanya menciptakan lagu-lagu tanpa memikirkan susunan instrumentasinya, menuliskan notasinya, dsb. Begitu pula seorang arranger adalah penggubah karya musik yang telah ada menjadi lebih baru dengan cara-cara seperti menginstrumentasikan dan mengubahnya dalam wujud tempo dan harmonisasi yang berbeda tanpa mengubah esensi asli dari musik yang digubah. Seabagai contoh adalah Ismail Marzuki, ia adalah salah satu song writer bangsa Indonesia yang cukup terkenal, dan Erwin Gutawa adalah salah satu arranger yang berbakat. Lalu siapakah komponis Indonesia? Dunia komposisi di tanah air masih sangat ter-marjinalkan, dalam arti dunia komposisi adalah dunia yang sangat asing bagi bangsa ini. Kita hanya cukup bisa mengatakan beberapa nama seperti Slamet Abdul syukur (Bapak Musik Baru Indonesia), Trisutji D. Kamal, Mochtar Embut, Jaseed Jamin, dan beberapa nama lain yang tidak mencolok.
Dari uraian di atas maka untuk menghasilakan karya-karya komposisi musik yang baik, ilmu komposisi musik menuntut berbagai hal penting yang kompleks, rumit dan berkaitan satu sama lain. Untuk itu, secara teoritis diperlukan suatu jaringan pengetahuan dan referensi yang cukup luas bagi para komponis untuk terjun dalam dunia yang mereka tekuni.
Pengetahuan teoritik ilmu komposisi antara lain tidak hanya mendalami ilmu teori musik dan notasi-ilmu harmoni dan orkestrasi- ilmu bentuk dan analisa- ilmu akustik dan organologi- partiturkunde dan instrumenkunde- psikologi dan estetika musik; tetapi juga berbagai penguasaan permainan instrumentarium musik dan pengalaman bermain bersama baik individual, ensembel atau orkes. Karena semakin banyak seorang komponis bermain bersama dalam bentuk ensembel atau orkes, maka semakin banyak pula bekal yang dia perlukan untuk membuat komposisi dengan baik.

Musik Sebagai Sains dan Teknologi


Musik Sebagai Sciene dan Teknologi
Tidak ada satupun di toko buku yang penulis temukan menyediakan satu rak khusus untuk buku musik yang bertitel pengetahuan atau pendidikan. Selama ini buku-buku musik yang didominasi oleh buku-buku teori praktek praktis atau kumpulan lagu-lagu pop lengkap dengan akor-akornya jelas menggambarkan betapa masih kerdilnya pengetahuan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan musik sebagai salah satu cabang ilmu yang bersifat ilmiah. Jika ada yang mengatakan bahwa buku adalah jendela dunia maka sangat pantaslah jika kita menemukan kondisi masyarakat kita yang sangat ‘kekurangan gizi’ akan pengetahuan musik apabila fakta yang terjadi di lapangan sangat minim sekali ditemukannya buku-buku pengetahuan musik yang mengandung teori, sejarah dan teknologi musik.
Media masa seperti televisi yang mengandung lebih dari 80% sumber informasi masyarakat pun tidak banyak membantu dalam hal pemberian informasi pendidikan musik. Musik yang selalu ditampilkan lebih mengedepankan komersialitas dan budaya populer, sehingga masyarakat pun terbius oleh fatamorgana popularitas dan selebritisme. Banyak orang berbondong-bondong ingin bermain musik hanya untuk menjadi duplikat para selebriti itu dengan harapan mereka dapat menjadi populer dan terkenal lewat jalur musik.