Minggu, 30 Januari 2011

Komposisi Musik


Oleh; Christanto Hadijaya, S.Sn.
A.   Komposisi Musik
J. W. Goethe
Komposisi berasal dari kata kerja bahasa Jerman; komponieren (Latin componere, Itali comporre, Inggris to compose) pertamakali dipergunakan oleh pujangga besar Jerman, Johann Wolfgang Goethe (1749-1832) untuk menandai cara-cara menggubah (Komponier-ern) musik pada abad-abad sebelumnya (Abad 15 sampai 17). Komponieren dengan demikian adalah pekerjaan mengatur, menyusun, menata, merangkai (bahasa awam: mengotak-atik) berbagai suara atau nada-nada yang mengacu kepada lagu atau melodi utama yang disebut Cantus. Yang patut dibedakan antara komposisi dengan istlah arranger (arrangement), song writer adalah dari segi pengerjaannya. Komposisi sebagai kata benda dan komponis (composer) sebagai pelakunya, adalah pekerjaan membuat, mencipta dan merangkai karya musik yang meliputi aspek pengerjaan mulai dari ide, lalu penulisan dan pada akhirnya diwujud nyatakan dengan penampilan atau pergelaran karya itu sendiri. Komponis menuangkan ide dalam bentuk notasi-notasi tertulis, memikirkan warna bunyinya, mengkonstruksi psikologis pemain meliputi teknik instrumen yaitu kelebihan dan keterbatasan tiap-tiap instrumen yang berbeda, hingga karya itu menjadi sesuatu yang valid untuk dapat dipresentasikan ke hadapan publik.
Komponis bukanlah song writer atau arranger dan begitu pula sebaliknya. Karena song writer hanyalah ‘Penulis Lagu’ yang hanya menciptakan lagu-lagu tanpa memikirkan susunan instrumentasinya, menuliskan notasinya, dsb. Begitu pula seorang arranger adalah penggubah karya musik yang telah ada menjadi lebih baru dengan cara-cara seperti menginstrumentasikan dan mengubahnya dalam wujud tempo dan harmonisasi yang berbeda tanpa mengubah esensi asli dari musik yang digubah. Seabagai contoh adalah Ismail Marzuki, ia adalah salah satu song writer bangsa Indonesia yang cukup terkenal, dan Erwin Gutawa adalah salah satu arranger yang berbakat. Lalu siapakah komponis Indonesia? Dunia komposisi di tanah air masih sangat ter-marjinalkan, dalam arti dunia komposisi adalah dunia yang sangat asing bagi bangsa ini. Kita hanya cukup bisa mengatakan beberapa nama seperti Slamet Abdul syukur (Bapak Musik Baru Indonesia), Trisutji D. Kamal, Mochtar Embut, Jaseed Jamin, dan beberapa nama lain yang tidak mencolok.
Dari uraian di atas maka untuk menghasilakan karya-karya komposisi musik yang baik, ilmu komposisi musik menuntut berbagai hal penting yang kompleks, rumit dan berkaitan satu sama lain. Untuk itu, secara teoritis diperlukan suatu jaringan pengetahuan dan referensi yang cukup luas bagi para komponis untuk terjun dalam dunia yang mereka tekuni.
Pengetahuan teoritik ilmu komposisi antara lain tidak hanya mendalami ilmu teori musik dan notasi-ilmu harmoni dan orkestrasi- ilmu bentuk dan analisa- ilmu akustik dan organologi- partiturkunde dan instrumenkunde- psikologi dan estetika musik; tetapi juga berbagai penguasaan permainan instrumentarium musik dan pengalaman bermain bersama baik individual, ensembel atau orkes. Karena semakin banyak seorang komponis bermain bersama dalam bentuk ensembel atau orkes, maka semakin banyak pula bekal yang dia perlukan untuk membuat komposisi dengan baik.

Musik Sebagai Sains dan Teknologi


Musik Sebagai Sciene dan Teknologi
Tidak ada satupun di toko buku yang penulis temukan menyediakan satu rak khusus untuk buku musik yang bertitel pengetahuan atau pendidikan. Selama ini buku-buku musik yang didominasi oleh buku-buku teori praktek praktis atau kumpulan lagu-lagu pop lengkap dengan akor-akornya jelas menggambarkan betapa masih kerdilnya pengetahuan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan musik sebagai salah satu cabang ilmu yang bersifat ilmiah. Jika ada yang mengatakan bahwa buku adalah jendela dunia maka sangat pantaslah jika kita menemukan kondisi masyarakat kita yang sangat ‘kekurangan gizi’ akan pengetahuan musik apabila fakta yang terjadi di lapangan sangat minim sekali ditemukannya buku-buku pengetahuan musik yang mengandung teori, sejarah dan teknologi musik.
Media masa seperti televisi yang mengandung lebih dari 80% sumber informasi masyarakat pun tidak banyak membantu dalam hal pemberian informasi pendidikan musik. Musik yang selalu ditampilkan lebih mengedepankan komersialitas dan budaya populer, sehingga masyarakat pun terbius oleh fatamorgana popularitas dan selebritisme. Banyak orang berbondong-bondong ingin bermain musik hanya untuk menjadi duplikat para selebriti itu dengan harapan mereka dapat menjadi populer dan terkenal lewat jalur musik.